

Hal A: Eh, ngerasa gak sih akhir-akhir ini cuaca agak aneh ya, kan? Menurutmu, apa mungkin ini karena perubahan iklim?
B: Yang aku baca dari beberapa sumber terpercaya, bahwa cuaca yang tidak stabil dan ekstrem saat ini memang salah satu dampak dari perubahan iklim.
A: Menurutmu, kita bisa gak ya mengatasi masalah ini?
B: Tentu saja bisa, ada banyak cara yang dapat kita lakukan. Misalnya saja, mengurangi emisi gas rumah kaca dengan beralih dari sumber daya fosil ke sumber energi yang lebih bersih, seperti energi surya dan angin.
Selain itu, kita juga bisa melakukan praktik-praktik yang lebih ramah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari, seperti menggunakan transportasi umum, membuang sampah dengan benar, serta menghemat air dan listrik.
A: Ah, percuma kalau kita sendiri yang bergerak tapi peran pemerintah tidak ada dalam mengatasi masalah ini?
B: Eits, jangan salah. Pemerintah juga sudah bergerak untuk mengatasi masalah ini loh. Mereka membuat kebijakan yang mengatur penggunaan energi fosil dan memberikan insentif untuk penggunaan sumber energi bersih. Pemerintah juga memberikan pendanaan untuk penelitian dan pengembangan teknologi yang ramah lingkungan.
Dan tidak ketinggalan Bank Indonesia juga turut serta dalam mewujudkan ekonomi berkelanjutan melalui peran ekonomi keuangan hijau.
A : Wah, keren banget. Aku baru dengar tentang ekonomi keuangan hijau nih. Jelasin lebih detail dong tentang masalah ini.
Dua Risiko Perubahan Iklim Terhadap Perekonomian
Percakapan di atas, memang sebuah cerita faksi yang saya rangkai. Akan tetapi, sangat erat hubungannya dengan hal yang kita rasakan saat ini kan? Belakangan ini cuaca sedang sangat ekstrem dan suhu bumi meningkat yang menyebabkan perubahan iklim.
Mungkin kamu berpikir perubahan iklim ini hanya berdampak signifikan pada lingkungan dan masyarakat saja. Padahal nyatanya tidak demikian. Risiko perubahan iklim ini juga sangat berhubungan dengan perekonomian.
Ada dua jenis risiko perubahan iklim yang berimplikasi pada perekonomian, yaitu:
1. Risiko fisik
Risiko fisik terkait dengan perubahan kondisi lingkungan fisik seperti bencana alam, kenaikan suhu global, banjir, dan kekeringan yang dapat menyebabkan kerusakan pada aset fisik dan infrastruktur. Dampak dari risiko fisik tersebut dapat menyebabkan gangguan pada aktivitas ekonomi dan keuangan, termasuk instabilitas moneter.
Ketika risiko fisik terjadi, perusahaan dan lembaga keuangan dapat mengalami kerugian finansial karena kerusakan pada aset dan infrastruktur, serta penurunan permintaan pasar akibat ketidakpastian.
Hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan pada nilai tukar mata uang, kenaikan suku bunga, dan inflasi yang dapat berdampak pada stabilitas moneter.
2. Risiko transisi
Risiko transisi adalah risiko yang timbul dari peralihan perekonomian berbasis karbon ke perekonomian yang lebih berkelanjutan dan rendah karbon.
Hal ini terkait dengan potensi perubahan kebijakan, teknologi, dan dinamika pasar yang dapat mengganggu nilai aset dan kinerja keuangan perusahaan dan institusi keuangan.
Risiko transisi dapat berdampak pada stabilitas sistem keuangan karena peralihan ke perekonomian yang berkelanjutan memerlukan perubahan besar dalam investasi dan kegiatan ekonomi.
Perubahan ini dapat mengganggu bisnis yang bergantung pada sumber daya fosil dan sektor terkait, serta mengganggu kinerja keuangan bank dan lembaga keuangan lainnya yang memiliki portofolio yang signifikan terkait dengan sektor-sektor tersebut.
Pada gilirannya, risiko transisi dapat menimbulkan ketidakstabilan sistem keuangan, karena adanya ketidakpastian yang lebih tinggi dalam nilai aset dan kewajiban, pengurangan likuiditas, dan peningkatan biaya pinjaman.
Menuju Net Zero Emission
Dalam mengantisipasi risiko fisik dan risiko transisi, Bank Sentral dan Otoritas Keuangan menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial demi menjaga stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan demi menuju Indonesia maju.
Hal ini selaras dengan UU No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) menegaskan mandat Bank Indonesia dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Karena itulah Bank sebagai lembaga penyedia dana turut serta menjadi pendorong transisi menuju net zero emission dengan Kebijakan Makroprudensial Hijau yang memberikan insentif kepada perusahaan hijau.
Lalu, bagaimana caranya?
Yaitu dengan memenuhi target penurunan emisi karbon. Dalam hal ini Bank harus meningkatkan porsi kredit hijau, sehingga perusahaan non-hijau akan mengalami hambatan akses keuangan. Serta debitur Bank akan melakukan penyesuaian proses bisnis, investasi hijau atau membeli kredit karbon untuk mendapatkan pembiayaan yang lebih kompetitif dari Bank.
Dengan demikian bank akan menjadi kunci dalam mendorong perusahaan untuk beralih dari brown firms menjadi green firms sehingga akhirnya bisa menuju net zero emission.
Kebijakan Ekonomi Keuangan Hijau, Wujudkan Ekonomi Berkelanjutan
Demi mewujudkan ekonomi yang berkelanjutan dan mendukung usaha pemerintah dalam menunaikan Perjanjian Paris (kesepakatan global dalam rangka monumental untuk menghadapi perubahan iklim), Bank dan otoritas keuangan tidak hanya mengeluarkan kebijakan Makroprudensial Hijau. Tetapi, kebijakan ekonomi keuangan hijau lainnya, seperti :
-
LTV Hijau
LTV Hijau adalah istilah dalam dunia perbankan yang merujuk pada loan-to-value ratio (rasio pinjaman terhadap nilai jaminan) untuk kredit hijau, seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR) atau Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) yang digunakan untuk pembelian kendaraan ramah lingkungan atau energi terbarukan.
Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong konsumen untuk membeli properti atau kendaraan yang lebih ramah lingkungan, dengan memberikan persyaratan pinjaman yang lebih rendah jika produk tersebut memenuhi kriteria hijau yang ditetapkan.
-
RPIM Hijau
Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) hijau adalah sebuah rasio yang menghitung persentase dari pembiayaan yang diberikan oleh sebuah lembaga keuangan kepada sektor-sektor hijau atau inklusif, dibandingkan dengan total pembiayaan yang diberikan. RPIM hijau diterapkan untuk mempromosikan pembiayaan yang lebih ramah lingkungan dan inklusif.
Selain itu, untuk mendukung pembiayaan RPIM Hijau, pemerintah juga memperkenalkan insentif pemenuhan RPIM melalui kredit dan Selisih Suku Bunga (SSB) hijau.
Dengan adanya insentif dan selisih suku bunga yang lebih rendah, diharapkan lembaga keuangan akan lebih tertarik untuk memberikan pembiayaan kepada sektor-sektor hijau, sehingga dapat membantu mempercepat transisi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Penutup
Dapat disimpulkan ekonomi keuangan hijau ini berperan penting dalam mewujudkan ekonomi berkelanjutan, antara lain dengan cara:
- Mengarahkan aliran dana ke sektor yang ramah lingkungan.
- Mendorong inovasi teknologi yang ramah lingkungan agar dapat mempercepat perpindahan ke arah ekonomi yang berkelanjutan.
- Membantu mengurangi risiko lingkungan yang dihadapi oleh perusahaan dan masyarakat secara keseluruhan.
- Mempromosikan investasi di sektor-sektor yang berkelanjutan untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan secara lingkungan dan sosial.
Dengan adanya kebijakan ekonomi keuangan hijau ini, diharapkan lebih banyak pihak yang tertarik dan termotivasi untuk melakukan transisi ke ekonomi yang lebih ramah lingkungan, mengurangi dampak negatif kegiatan ekonomi pada lingkungan, dan mendukung pencapaian tujuan ekonomi berkelanjutan demi menuju Indonesia maju.