

Malam itu, selepas kami berbincang santai sebagai keluarga, saya menyampaikan satu hal penting kepada kedua putra-putri kami yang saat ini duduk kelas 6 SD dan kelas 7 SMP. Dengan nada tenang namun tegas, saya berkata, “Kalian baru boleh memiliki smartphone sendiri saat usia kalian sudah 17 tahun, ya Nak.”
Seketika wajah mereka berubah, “Kok lama banget sih, Mi? Kalau kami mau nyari info untuk tugas sekolah, nonton video, main game, dan lainnya gimana dong?” protes mereka sambil memanyunkan bibir.
Saya tersenyum. Sejujurnya, saya sudah menduga respon tersebut. Namun, keputusan itu sudah bulat, tentunya setelah pertimbangan yang matang melalui diskusi penjang dengan suami.
“Kan, kalian bisa memakai gadget Ummi atau Abi. Namun, perlu diingat kalau statusnya pinjam ya, bukan milik pribadi kalian.” Mereka akhirnya mengangguk pelan dan mengerti maksud orang tuanya.
Bukan bermaksud tega. Hal ini kami lakukan justru karena sangat menyayangi mereka. Saya sadar betul, jika era digital ini, menjadi ibu bukan lagi sekadar menyiapkan makanan dan mengurus anak saja.
Akan tetapi, ibu telah bertransformasi menjadi garda depan penyaring informasi, penjaga batas, dan pelindung anak dari bahaya yang bahkan tak selalu kasat mata. Dunia mereka kini tak sebatas rumah dan sekolah, tapi membentang luas hingga ke dalam ruang virtual di balik layar. Karena itulah literasi digital anak sangat diperlukan bagi mereka.
Ketika Gadget Menjadi Pintu Dunia Lain
Berdasarkan laporan dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan jika jumlah pengguna internet Indonesia tahun 2024 mencapai 221,6 juta jiwa dari total populasi 278,7 juta jiwa penduduk Indonesia dan sekitar 9,17% berasal dari golongan Gen Alpha.
Informasi di atas sejalan dengan data dari BPS tahun 2024 yang menunjukkan bahwa 39,71 anak usia dini di Indonesia sudah menggunakan telepon seluler dan 35,57% diantaranya telah mengakses internet.
Bahkan yang lebih mencengangkannya lagi, menurut survey KPAI pada masa pandemi COVID, sebanyak 79% anak diizinkan menggunakan gadget selain untuk belajar dan 71,3% anak memiliki gadget sendiri. Di dalam survei tersebut menyatakan juga jika sebagian besar anak-anak tersebut mengakses internet tanpa pendampingan orang tua.
Saya dan suami tak anti gadget. Kami pun paham teknologi adalah bagian yang tak bisa dihindarkan dari kehidupan masa kini. Namun, di sisi lain tak bisa dipungkiri jika dunia maya memang pintu yang sangat mudah dibuka untuk menuju dunia lain yang menyimpan banyak ancaman tersembunyi bagi anak-anak, mulai dari kecanduan layar, penurunan kemampuan fokus, terpapar konten tidak layak dan bahkan perundungan digital (cyber bullying).
Sebagai contoh nyata, KPAI mencatat ada 41 kasus anak menjadi korban pornografi dan kejahatan cyber. Jenis kasus ini menempati peringkat ketiga dari total pengaduan dalam klaster Perlindungan Khusus Anak.
Fakta lain yang saya dapatkan dari web Hellosehat, di tahun 2018 terdapat penelitian berjudul “A Majority of Teens Have Experienced Some Form of Cyberbullying”. Pada penelitian ini tercatat bahwa sekitar 59% remaja yang aktif menggunakan internet pernah mengalami perundungan daring. Angka ini menunjukkan tingkat kerentanan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang dewasa, di mana hanya sekitar 33% yang melaporkan menjadi korban cyberbullying.
Hal inilah yang membuat saya dan suami semakin yakin dan sepakat bahwa keputusan kami membatasi penggunaan internet dan akses gadget pribadi pada anak-anak adalah aksi perlindungan, bukan pembatasan.
Belajar Menjadi Ibu yang Melek Digital
Literasi digital merupakan kemampuan seseorang untuk mengakses, memahami, menggunakan, mengevaluasi, dan menciptakan informasi melalui media digital secara bijak, aman dan bertanggung jawab. Literasi digital ini terutama pada anak tidak bisa datang begitu saja, butuh peran keluarga khususnya ibu sebagai garda depannya. Dan itu membutuhkan waktu, energi serta kesadaran kolektif.
Sesungguhnya saya bukanlah ibu yang lahir di era digital. Tetapi saya memaksakan diri untuk belajar tentang literasi digital ini. Mulai dari membaca artikel tentang literasi termasuk literasi digital, mengikuti webinar parenting, menonton video edukasi bahkan berdiskusi dengan komunitas ibu-ibu yang memiliki keresahan serupa.
Saya ingin ketika anak bertanya, “Mi, kenapa sih kami gak boleh ngikutin video tren TikTok seperti teman-teman?”. Saya bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan cukup masuk akal bukan cuma menjawab,”Pokoknya, jangan main medsos!”.
Karena larangan tanpa penjelasan masuk akal, akan membuat anak-anak semakin memberontak. Mereka ingin tahu, ingin paham, dan jika saya tidak memberikan jawaban yang memuaskan, mereka akan mencarinya di tempat lain yang belum tentu aman atau sesuai dengan nilai yang saya pegang.
Strategi Meningkatkan Kecerdasan Literasi Digital Anak
Terkadang, anak-anak masih bertanya, “Kenapa sih Ummi gak gampang ngasih kami HP kayak orang tua yang lain?”
Tentu saja pertanyaan itu menohok hati, meski bukan kali pertama mereka mengatakannya. Dan lagi-lagi saya menjawab dengan jujur dan lembut, “Karena Ummi ingin kalian benar-benar mampu berpikir matang sebelum menerima gelombang informasi dari dunia maya. Ummi ingin kalian dapat memanfaatkan teknologi dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, bukan malah diperbudak olehnya.”
Karena itulah, dalam keluarga kami, ada beberapa strategi yang saya dan suami terapkan agar anak memiliki kecerdasan literasi digital, antara lain:
1. Membuat Jadwal Penggunaan Gadget
Anak-anak hanya diperbolehkan menggunakan gadget maksimal 2 jam per hari saat weekday dan 4 jam per hari saat weekend. Itu pun untuk kegiatan yang kami sepakati bersama seperti belajar, menonton video edukatif, mendesain gambar, atau bermain game luring yang sesuai usia.
2. Mendampingi Anak saat Mengakses Internet
Saat mereka mengakses internet, baik itu untuk menonton, mencari informasi atau lainnya, kami berusaha hadir, bukan sekadar mengawasi. Memberi masukan dan menanggapi dengan antusias.
Di rumah, kami kerap berdiskusi ringan tentang apa yang mereka tonton atau apa yang sedang tren di kalangan teman-temannya. Tidak semua hal disetujui, tapi kami selalu membuka ruang dialog.
Tujuannya, agar anak tahu bahwa orang tua bukanlah musuh yang harus ditakuti dan suka melarang ini itu, melainkan teman berpikir yang membimbing.
3. Menjadi Teladan yang Konsisten
Kami juga belajar menahan diri untuk tidak terlalu sering bermain gadget di depan anak. Kalaupun kami menggunakan laptop, tab atau ponsel biasanya itu untuk bekerja.
Karena memang pekerjaan saya sebagai blogger dan konten kreator mengharuskan untuk lebih banyak berada di depan layar, begitupun dengan suami yang bekerja di perusahaan swasta yang sistem pembukuannya dilakukan secara daring. Dan anak-anak sudah mengerti akan hal tersebut.
4. Mengenalkan Etika dan Keamanan Digital
Strategi selanjutnya yang kami lakukan adalah mengajarkan pentingnya menjaga privasi, tidak menyebarkan informasi pribadi, serta bersikap sopan dalam komunikasi digital. Saya menjelaskan risiko-risiko seperti hoaks, penipuan, pornografi, hingga ancaman predator daring dengan bahasa yang mudah mereka pahami. Saya juga menegaskan jika mereka menemukan konten negatif, maka mereka harus memberitahu kami.
5. Mengajak Anak terlibat dalam Aktivitas Non Digital
Setiap akhir pekan, kami mempunyai agenda khusus keluarga. Di acara ini, kami membuat kegiatan khusus tanpa gadget, seperti piknik keluarga, olahraga bersama, atau sekadar berbincang di teras.
Hal-hal sederhana yang ternyata mampu mengisi ruang batin anak-anak lebih dalam dari sekadar hiburan di dunia maya.
Dari Rumah ke Ranah Publik
Kekhawatiran akan bahaya gadget yang begitu meresahkan, membuat saya berkeinginan untuk tidak sekadar menjadi garda utama keluarga saja, tetapi juga bergerak ikut mengedukasi para orang tua lain agar lebih perhatian terhadap isu ini.
Sebagai permulaan, saya menyuarakan hal tersebut di media sosial @dyahummuaura serta blog roemahaura.com dan ummipedia.com yang saya miliki.
Saya menuliskan dan membuat video edukasi tentang batasan penggunaan internet dalam lingkungan keluarga, etika bermedia sosial, menyingkapi hoaks, bahaya cyber bullying bagi anak, dampak kecanduan gadget, dan informasi terkait literasi digital lainnya.
Ini bukanlah perjuangan yang mudah. Namun, saya tak sendiri. Kini pemerintah, melalui Kemkomdigi juga semakin aktif mengedukasi masyarakat agar memperkuat literasi digital.
Komdigi juga berkomitmen melindungi anak-anak dan kelompok rentan di dunia maya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak atau yang disingkat dengan PP TUNAS.
Saya berharap dengan yang kami lakukan ini, semakin banyak orang tua yang melek digital. Dengan begitu, peluang anak-anak Indonesia tumbuh sehat dan aman di dunia digital pun akan semakin besar.
Sebagai perempuan dengan empati, ketangguhan dan nalurinya, seorang ibu bisa menjadi cahaya yang bisa menembus gelapnya dunia digital yang semu.
Maka dari itu, mari kita mulai dari rumah, dari langkah kecil yang mungkin tampak remeh, tapi sejatinya mampu menjadi pijakan kuat bagi masa depan anak-anak kita.
Harapan di Ujung Jejak
Saya sadar, saya bukan ibu yang paling pintar, paling sabar, atau paling update soal teknologi. Namun, saya punya keyakinan, jika punya kemauan, setiap ibu punya potensi menjadi pelindung terbaik anak-anaknya di era digital ini.
Keputusan menunggu hingga usia 17 tahun, bukanlah angka yang muncul begitu saja. Sebaliknya, itu hasil pertimbangan dengan seksama.
Saya dan suami percaya, di usia tersebut, anak-anak sudah punya kemampuan berpikir kritis, bisa memilah mana yang baik dan buruk, serta memahami bahwa teknologi adalah alat yang perlu dikendalikan, bukan sebaliknya.
Semua nilai itu harus terus kami tanamkan. Bukan melalui ceramah panjang atau larangan kaku, melainkan lewat tindakan nyata yang konsisten dan suasana terbuka setiap hari.
Langkah kami mungkin kecil. Namun, saya yakin, dari jejak langkah yang penuh cinta ini, akan lahir anak-anak yang kuat menghadapi derasnya arus informasi. Anak-anak yang tidak hanya pandai menggunakan teknologi, tapi juga bijak dan bertanggung jawab.
Dan mungkin, kelak mereka akan berterima kasih karena pernah dibatasi. Sebab justru dari keterbatasan itu, mereka belajar makna kebebasan yang sebenarnya. Di tengah bising dan semunya dunia digital, jejak langkah ibu hadir sebagai cahaya yang senantiasa menuntun, melindungi dan menguatkan.
Sumber Bacaan:
- https://apjii.or.id/berita/d/apjii-jumlah-pengguna-internet-indonesia-tembus-221-juta-orang
- https://www.komdigi.go.id/berita/artikel/detail/komitmen-pemerintah-melindungi-anak-di-ruang-digital
- https://bankdata.kpai.go.id/files/2021/02/Hasil-Survei-KPAI-2020-Pemenuhan-dan-Perlidunga-di-Masa-Covid-19.pdf
- https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-XVII-4-II-P3DI-Februari-2025-2480.pdf
- https://hellosehat.com/mental/bahaya-cyber-bullying/
- https://www.roemahaura.com/cyberbullying-perundungan-di-dunia-maya/