Ngerasa gak sih kalau cuaca sekarang rasanya penuh kejutan yang tak kalah seru dari plot twist drama Korea? Pagi masih cerah, siang tiba-tiba diguyur hujan lebat, eh sorenya kembali panas. Ritme alam berubah begitu cepat hingga akhirnya banyak orang mulai bertanya-tanya, “Kenapa bencana hidrometeorologi sekarang seperti makin rajin mampir?”
Sebetulnya apa yang terjadi hari ini adalah gambaran nyata dari bagaimana perubahan iklim dan kerusakan lingkungan bertemu dalam satu panggung besar. Dan hasilnya, ya… Bencana hidrometeorologi yang semakin sering terjadi.
Apa sebenarnya Bencana Hidrometeorologi?
Mungkin pembaca roemahaura.com ada yang baru mendengar kata “bencana hidrometeorologi” ini? Istilah ini mungkin terdengar teknis, tapi sebenarnya makna kata ini sederhana yakni bencana yang dipicu oleh fenomena cuaca dan air. Ini termasuk hujan ekstrem, banjir, banjir bandang, kekeringan panjang, puting beliung, hingga gelombang tinggi. Semua bencana yang berakar pada dinamika atmosfer dan hidrologi masuk dalam kategori ini.
Indonesia sebagai wilayah yang berada di garis ekuator dan dikelilingi lautan, memang sudah akrab dengan cuaca yang dinamis. Akan tetapi, apa yang kita alami beberapa tahun terakhir bukan lagi soal “cuaca tropis yang manja”, melainkan pola yang semakin ekstrem.
Perubahan Iklim, Dalang Utama yang Mengubah Ritme Alam
Untuk memahami kenapa bencana hidrometeorologi meningkat, kita perlu menengok ke satu isu global yang sudah lama diperingatkan yaitu perubahan iklim.
Suhu bumi meningkat sedikit saja, dampaknya akan terasa besar. Ketika suhu permukaan laut menghangat, penguapan air meningkat. Ketika penguapan meningkat, awan terbentuk lebih cepat dan hujan pun turun lebih deras. Inilah salah satu alasan mengapa curah hujan ekstrem terasa semakin sering terjadi di mana-mana.
Di sisi lain, kenaikan suhu juga membuat beberapa wilayah mengalami kekeringan lebih lama dari biasanya. Pola musim bergeser, hujan datang tak menentu, dan sawah yang mengandalkan alam pun ikut kebingungan.
Iklim seperti sistem emosional besar, ketika satu elemen terganggu, seluruh dinamika ikut berubah.
Lingkungan yang Rusak, Dampak yang Berlipat Ganda
Sayangnya perubahan iklim bukanlah satu-satunya pemain di arena ini. Lingkungan yang sudah rusak ikut memperparah situasi.
Bayangkan kota-kota besar saat ini sudah dipenuhi hutan beton dimana-mana. Tanah resapan hilang, pohon semakin sedikit, dan air hujan tak punya tempat untuk meresap. Akhirnya, hujan deras sebentar saja sudah cukup membuat area perkotaan tergenang.

Begitu juga di daerah perdesaan yang sudah banyak mengalami deforestasi. Ketika tutupan pohon hilang, maka tanah menjadi lebih rapuh. Efeknya sedikit hujan bisa memicu longsor. Sedangkan kalau hujan deras dan intens bisa menjadi banjir bandang.
Kerusakan lingkungan membuat bencana hidrometeorologi bukan hanya lebih sering terjadi, tetapi juga membuatnya menjadi semakin parah.
Tak perlu jauh-jauh mencari bukti. Beberapa tahun terakhir, banyak kota besar di Indonesia yang mengalami hujan ekstrem yang memicu banjir hanya dalam hitungan jam saja. Banjir bandang juga muncul di daerah lereng perbukitan yang mengalami alih fungsi lahan.
Di sisi lain, kekeringan panjang membuat beberapa wilayah mengalami krisis air bersih. Sungai mengering, sumber air menyusut, dan masyarakat harus mencari alternatif agar mampu bertahan. Sungguh miris kan?
Apa yang Bisa Dilakukan?
Meskipun tantangannya besar, bukan berarti kita kehilangan harapan. Ada banyak langkah mitigasi dan adaptasi yang bisa kita lakukan bersama-sama, mulai dari pemerintah, lembaga lingkungan hidup, hingga masyarakat.
- Reboisasi dan penghijauan untuk mengembalikan fungsi resapan air.
- Perbaikan sistem drainase di perkotaan agar tidak kewalahan menampung debit air hujan.
- Mengembalikan early warning system yang lebih akurat agar masyarakat bisa bersiap sebelum bencana datang.
- Edukasi dan gerakan komunitas, mulai dari memilah sampah hingga menjaga sungai tetap bersih, agar lingkungan tetap sehat.
- Memonitoring lingkungan dengan dinas terkait seperti https://dlhkabbrebes.org/struktur/ termasuk analisis air, udara, dan kondisi iklim yang berubah.
Ketika mitigasi berjalan dengan adaptasi, risiko bencana bisa ditekan meski perubahan iklim terus berlangsung.
Menjadi lebih Siap, Bukan Lebih Takut
Lonjakan bencana hidrometeorologi adalah sebuah peringatan kalau bumi sedang berubah dan kita perlu ikut menyesuaikan langkah. Namun ini bukan cerita kelam yang membuat putus asa. Dengan pemahaman, kesadaran dan aksi kolektif dari berbagai pihak termasuk https://dlhkabbrebes.org/struktur/, kita bisa memperkuat ketahanan lingkungan dan menyelamatkan banyak nyawa.
Pada akhirnya, memahami bencana bukan tentang hidup dalam ketakutan, melainkan tentang hidup dengan kesiapan. Karena ketika alam berubah, manusia pun perlu berubah dengan cara yang lebih bijak, lebih peduli dan lebih bertanggung jawab. Setuju?
