Kemarin, saat saya mengecek WhatsApp khusus untuk anak-anak dan menemukan tiga chat mereka dengan Chatbot. Sebenarnya tidak ada hal yang mengkhawatirkan dari percakapan tersebut. Karena sepertinya mereka baru mencoba fitur ini. Namun akhirnya, saya memutuskan untuk menghapus chat-chat tersebut. Dan dengan kejadian ini, saya merasa ini adalah waktu yang tepat bagi saya untuk memberikan edukasi kepada anak-anak tentang bahaya chatbot bagi remaja.
Mungkin ada yang mengira jika yang saya lakukan ini terlalu ‘lebay’. Akan tetapi, saya merasa perlu bertindak tegas. Ini adalah salah satu bentuk rasa sayang dan perlindungan saya sebagai orang tua kepada anak-anak. Sebenarnya bukan tanpa alasan saya melakukan ini. Kenyataannya fenomena percakapan para remaja dengan chatbot semakin mengkhawatirkan. Gak percaya? Akan saya ungkapkan fakta dan datanya di artikel ini!
Apa itu Chatbot dan Mengapa Menarik bagi Remaja?
Chatbot adalah program berbasis AI yang dirancang untuk berinteraksi dengan manusia melalui percakapan. Dari sekadar menjawab pertanyaan sederhana hingga bisa menjadi teman curhat virtual. Ya, chatbot ini hadir dalam berbagai aplikasi dan sangat mudah kita temui, baik di media sosial, layanan pendidikan, marketplace, bahkan hiburan dan kini merambah ke aplikasi chat seperti WhatsApp.
Mungkin parents, pernah mendapati anak remaja yang begitu asyik berbicara dengan ponselnya, seakan sedang mengobrol dengan seorang teman? Padahal, lawan bicaranya bukan manusia, melainkan chatbot.

Bagi remaja, chatbot menawarkan sesuatu yang kadang sulit mereka temukan di dunia nyata, seperti:
- Hadir selama 24 jam > Anak bisa berbicara kapan saja, tanpa takut ditolak.
- Bebas dari penghakiman > Chatbot tidak akan menertawakan rahasia mereka.
- Respon instan > masalah sebesar apa pun akan terasa mudah karena chatbot selalu punya jawabannya.
- Rasa memiliki teman > saat kesepian, chatbot bisa jadi “teman setia” yang selalu ada.
Mungkin terlihat biasa saja alasan di atas. Namun, justru di sinilah masalahnya. Remaja sedang berada dalam fase pencarian jati diri. Merek butuh validasi, perhatian dan ruang aman untuk berekspresi. Jika kebutuhan itu dipenuhi chatbot, apa jadinya interaksi mereka dengan dunia nyata?
Bahaya Chatbot bagi Remaja
Meskipun tampak remeh, ketergantungan pada chatbot dapat memicu banyak risiko, antara lain:
1. Ketergantungan Emosional
Remaja bisa lebih nyaman berbagi masalah pada chatbot ketimbang orang tua, saudara dan teman. Akibatnya mereka kesulitan membangun kedekatan emosional dengan manusia.
2. Risiko Psikologis
Chatbot memang “ramah”, tetapi tetap saja mereka tidak mampu memberikan empati sejati. Sehingga Interaksi yang terlalu intens dengan chatbot bisa mengurangi kemampuan untuk memahami emosi orang lain.
3. Informasi Menyesatkan
Ingat, tidak semua jawaban chatbot itu akurat! ada kemungkinan anak menerima informasi keliru dan ini bisa sangat berbahaya jika dijadikan acuan oleh mereka.
4. Krisis Identitas
Di usia remaja, anak sedang mencari siapa dirinya. Jika mereka lebih sering mendapat “nasehat” dari chatbot, bisa terjadi benturan nilai dengan ajaran keluarga dan lingkungan.
5. Privasi Data
Banyak chatbot menyimpan percakapan pengguna. Bayangkan jika curhatan pribadi anak justru menjadi data yang bisa diakses pihak lain. Serem banget kan?
Data dan Kasus Nyata tentang Chatbot di kalangan Remaja
Di era digital seperti saat ini, peringatan tentang bahaya interaksi remaja dengan chatbot bukan hanya soal teori. Ada data dan kasus nyata yang menunjukkan bahwa risiko ini bukalah hal yang bisa kita anggap sepele.
Berdasarkan hasil survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) tentang Profil Internet Indonesia 2025, sebanyak 49,89% Gen Z (kelahiran 1997-2012) di Indonesia, termasuk lewat chatbot dan platform kursus berbasis kecerdasan buatan.
Disisi lain, hasil survei daring Snapcart pada April 2025 menunjukkan bahwa 43% dari 3.611 masyarakat Indonesia menyatakan bahwa mereka sering memakai AI dalam kehidupan sehari-hari. Mengejutkannya sekitar 6% menyatakan menggunakan AI sebagai teman ngobrol untuk berbagi perasaan.
Baru-baru ini, Komisi Perdagangan Federal AS (FTC) melakukan penyelidikan formal terhadap beberapa perusahaan besar seperti Google, Open AI, Meta, Snap, dan xAI untuk mengungkap bagaimana mereka mengukur & mengelola dampak chatbot AI terhadap anak dan remaja. Penyelidikan ini dilatarbelakangi laporan media soal chatbot yang diduga memperkuat gagasan bunuh diri dan melakukan percakapan seksual dengan pengguna di bawah umur.
Untuk lebih meyakinkan, saya mencari informasi lain dan menemukan salah satu berita dari akun instagram @idntimes yang tentu saja akan mengejutkan kita sebagai orang tua.
https://www.instagram.com/p/DBquZvJBBiZ/?hl=en
Lalu, sudahkah kita yakin anak kita aman dari risiko yang ada ? Bagi saya pribadi, lebih baik mencegah sejak awal daripada menyesal di kemudian hari.
Tanda-Tanda Anak Remaja Mulai Ketergantungan Chatbot
Orang tua sering kali tidak sadar bahwa anak sudah “terlalu dekat” dengan chatbot. Berikut beberapa tanda yang perlu diwaspadai:
- Anak jadi lebih sering menghabiskan waktu dengan gadget daripada berinteraksi dengan teman atau keluarga.
- sering mengutip jawaban chatbot dalam percakapan sehari-hari.
- Menutup diri saat menghadapi masalah, lebih memilih mengetik panjang lebar di aplikasi.
- Mudah tersinggung atau marah ketika akses ke chatbot dibatasi.
Jika tanda-tanda ini muncul, bukan berarti kita harus panik. Justru inilah saatnya untuk masuk dengan pendekatan yang hangat.
Peran Orang Tua dalam Melindungi Anak
Melarang total anak berinteraksi dengan chatbot bukanlah solusi. Seperti yang kita ketahui bersama kalau dunia digital merupakan bagian dari kehidupan mereka, dan chatbot hanyalah salah satu bentuknya dan tentu saja layaknya dua mata pedang, chatbot juga memiliki manfaat bagi anak. Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan dalam hal ini?
1. Bangun Komunikasi Terbuka
Anak butuh merasa aman untuk bercerita. Luangkan waktu khusus, dengarkan tanpa menghakimi, dan jadilah tempat curhat pertama mereka.
2. Terapkan Literasi Digital
Ajarkan anak untuk cerdas dalam literasi digital salah satunya bersikap kritis saat menerima informasi karena tidak semua jawaban dari chatbot itu benar. Ajak mereka mengecek informasi dari sumber lain sebelum percaya begitu saja.
3. Buat Aturan Sehat Penggunaan Gadget
Batasi penggunaan internet dan tentukan jam khusus untuk menggunakan gadget, termasuk akses ke chatbot. Seimbangkan dengan aktivitas offline.
4. Dampingi Anak
Beri pengertian pada anak bahwa chatbot bisa membantu, tetapi tetap saja tidak bisa menggantikan manusia. Arahkan mereka untuk memanfaatnya secara positif, misalnya untuk belajar bahasa asing, mencari ide kreatif, atau membantu menjawab soal yang mereka benar-benar tidak mengetahui jawabannya.
Alternatif Sehat untuk Remaja
Agar anak tidak terlalu bergantung pada chatbot, orang tua bisa menawarkan alternatif interaksi lain yang tentunya jauh lebih sehat, seperti:
- Kegiatan komunitas > dorong anak ikut organisasi sekolah, ekstrakulikuler, atau kegiatan sosial.
- Menulis jurnal > alih-alih curhat ke chatbot, ajari anak menuliskan perasaannya di diary atau blog pribadi dan ini yang dilakukan anak pertama saya. Namun, jika memang mereka kurang tertarik seperti anak kedua saya, biasanya saat dia marah dia akan menulisnya di kertas lalu merobeknya. Karena lewat ini perasaannya akan lebih lega tetapi tidak perlu diketahui orang lain.
- Waktu berkualitas bersama keluarga > ciptakan momen sederhana, seperti malan malam tanpa gadget, olahraga bareng, ngobrol santai atau bermain bersama. Kami biasanya melakukan ini di akhir pekan.
- Bangun jejaring sosial nyata. Bantu anak menemukan teman sebaya yang bisa menjadi support system selain keluarga dan saudaranya.

Kesimpulan
Chatbot memang menawarkan kenyamanan bagi remaja, selalu ada, selalu siap mendengarkan, dan tidak pernah menghakimi. Namun, dibalik itu semua, tersimpan risiko besar mulai dari ketergantungan emosional hingga ancaman privasi data.
Sebagai orang tua, kita tidak bisa menutup mata karena bahaya chatbot bagi remaja begitu nyata. Anak membutuhkan pendampingan agar mereka tidak terjebak dalam ilusi dunia virtual. Peran kita adalah menjadi sahabat nyata mereka di tengah derasnya teknologi.
Ingatlah, chatbot memang bisa jadi teman, tetapi hanya orang tua yang mampu menjadi rumah tempat anak pulang.
