Setelah sebelumnya memberanikan diri menulis nonfiksi yang bertema parenting. Silakan baca di artikel ini “Menstimulasi Keterampilan Berpikir Anak“. Ini pengalaman perdana menulis buku antalogi dengan metode penulisan berjenis faksi Yang berjudul “Tak Sekedar Kujaring Angin”.
Sebenarnya saat menilai sendiri tulisan ini, saya merasa tulisan ini terkesan curhat seperti di buku diary. Tetapi tak apalah, saya pikir gak terlalu buruk untuk permulaan. Hal ini juga bisa untuk menambah pengalaman. Mungkin ada yang mau membaca? Saya tulis di artikel ini.
Tak Sekedar Kujaring Angin
“Ummi … sukanya marah-marah aja!” Rais berteriak. Deg, aku terdiam dan menangis. Aku Dyah, ibu dari dua anak. Entah mengapa akhir-akhir ini emosiku makin tidak stabil. Yang kadang tanpa sengaja lepas kontrol dalam menyingkapi tingkah laku putri sulung dan putra bungsuku.
Semua orang punya mimpi. Tak terkecuali aku. Sebagian besar ingin punya rumah besar
dan indah, mobil mewah yang mahal nan nyaman, berkunjung ke Baitullah, deposito dengan jumlah besar, dan lainnya. Akupun begitu. Punya banyak mimpi yang ingin diwujudkan. Tapi untuk saat ini ada satu yang menjadi prioritas untuk kuwujudkan. Aneh memang, karena ku yakin tidak banyak yang mempunyai mimpi seperti ini.
Aku terlahir dari keluarga harmonis yang sederhana di sebuah kota kecil yang ada di provinsi Sumatera Selatan. Ayahku seorang pegawai BUMN. Dengan kecerdasannya, beliau mampu meraih jabatan cukup strategis di usia yang masih terbilang muda. Sehingga kalau soal materi, kami tidak pernah kekurangan walaupun tidah bisa dibilang juga dikelilingi oleh kemewahan.
Tapi itu cukup membuat kami bahagia. Terlebih beliau termasuk orang yang humoris dan sangat jarang marah. Kurasakan rasa sayangnya pada kami, ketiga anaknya. Bagiku beliau adalah ayah terbaik.
Ibuku sendiri adalah seorang ibu rumah tangga pada umumnya dikala itu. Yang sigap mengurusi kebutuhan kami. Memasak, mencuci, mengantar anak sekolah, belanja, dan aktivitas harian lainnya. Beliaupun ibu terbaik bagi kami.
Tapi semua itu berubah … di senja itu. Saat bias warna jingga merona, menandakan
matahari berhasrat turun ke peraduannya. Menjadi masaku menerima takdir-Nya. Layaknya senja yang menjadi pembatas antara siang dan malam, memisahkan agar keduanya untuk tidak berjumpa. Begitupun kematian yang memisahkanku dengan lelaki tercintaku, Ayah.
Menjelang beberapa menit menuju azan magrib, seorang pria datang dan mengabarkan bahwa
ayah mengalami kecelakaan. Mendengarnya, kami semua berharap itu hanya kecelakaan kecil. Ibu saat itu langsung bergegas menuju lokasi kejadian tidak diperdulikannya lagi nasi yang menjadi santapannya sore itu masih bersisa banyak. Aku yang saat itu baru berusia sebelas tahun mencoba menenangkan adik-adik ditemani nenek yang terus memegang tasbih melafazkan asma-Nya, berharap semua baik-baik saja.
Namun, seringkali kenyataan tidak sesuai harapan. Ayah telah meninggalkan dunia ini, meninggalkan kami semua. Bagaimana mungkin beliau yang pergi dengan senyuman dan malah sempat menggodaku saat kami sarapan bersama, pulang tanpa nyawa?
Menyaksikan tubuh lebam, darah segar yang masih mengalir dari kedua lubang hidung dan telinganya, belum lagi beberapa jahitan di sekujur tubuhnya, gigi yang tanggal satu. Itu sangat menusuk, apalagi sedu-sedan sanak saudara yang mulai berdatangan. Menyesakkan. Sungguh amat menyakitkan.
Kau tahu, anak berusia sebelas tahun itu bisa apa?
“Kamu baik-baik saja, nak?” Bulek, adik ayahku bertanya seolah ingin menenangkan tetapi aku tahu diapun tak kalah terpukul. Tidak baik-baik saja.
“Iya,Bulek. Ayah sudah terbang ke syurga.”
Semalaman mataku tak mampu terpejam. Tetap tersegal dalam tangisan. Lelah dan rasa kantuk tidak lagi kuhiraukan. Aku tahu, semua orang pasti pernah kehilangan sesuatu berharga yang mereka miliki. Ada yang kehilangan anggota tubuh mereka, harta benda, kesempatan, nama baik, atau seperti aku yang kehilangan orang tua. Kau tahu setiap kehilangan itu sangat menyakitkan terlebih itu adalah orang yang paling kau sayangi dan menjadi tumpuan dalam hidupmu.
***
Waktu berjalan lambat. Empat bulan kemudian, memasuki masa SMP. Demi menunaikan keinginan ayah yang berharap aku meneruskan pendidikan di pesantren selepas sekolah dasar. Aku ikuti untuk masuk pesantren yang berada di kota lain. Tapi ternyata aku hanya bertahan sebulan. Karena masih diliputi rasa sedih dan harus berpisah dari keluarga ditambah jadwal yang sangat padat, membuat kondisi fisikku down. Beberapa kali sakit bahkan harus dilarikan ke UGD. Akhirnya ibu putuskan membawaku pulang dan melanjutkan ke SMP negeri di kota asalku. Dan memintaku untuk tetap berjilbab di sekolah baru tersebut.
Di sekolah yang baru ini memang lebih menyenangkan apalagi bisa berkumpul lagi dengan teman-temanku sewaktu sekolah dasar. Tapi dengan jilbab yang dikenakan ini, membuatku berbeda dengan mereka. Seolah aku makluk planet lain. Maklum saja jilbab pada tahun 2012 belum se-familiar sekarang. Zaman itu yang menggunakan jilbab bisa dihitung dengan jari, bahkan di sekolahku yang baru ini hanya ada 2 orang termasuk aku.
Habislah aku diolok-olok oleh mereka yang jahil. Dilabelin mirip ninja, disangka botak, sok alim, dan kata menyakitkan lainnya. Mau mengadu? Tidak tahu harus kemana. Kupikir sudah terlalu banyak hal yang mesti dipikirkan ibuku, sesuatu yang jauh lebih penting. Teman? Ah, aku tidak semudah itu. Sesak? Sangat. Cuma bisa dipendam dan tertahan tanpa bisa dilepas.
***
Selulus SMP aku ingin melanjutkan ke SMA favorit di kota kelahiranku ini, apalagi aku bisa masuk ke sana tanpa tes. Tapi saat itu ibuku yang baru mulai belajar bisnis ditipu rekannya hingga ratusan juta dan puluhan gram emas. Ibu sangat terpukul hingga terbesit keinginan untuk bunuh diri.
Bagaimana tidak? Uang yang didapat dari pesangon dan uang kematian ayah yang sepatutnya untuk menghidupi kami, hampir habis menyisakan sedikit saja. Pupus sudah harapanku. Karena untuk bisa masuk SMA favorit tersebut, ibu haruslah mengeluarkan uang yang tidak sedikit ditambah dengan ongkos pulang-pergiku tapi kemana harus mendapatkan uang sebanyak itu. Saudara ibu pun tidak ada yang bisa membantu.
Akhirnya aku memilih menyerah dan sekolah di sebuah SMK negeri yang tidak jauh dari
rumah. Disana tidak butuh uang masuk yang besar, tidak perlu ongkos karena aku bisa jalan kaki, dan tidak banyak kegiatan yang mengharuskan keluar uang yang banyak.
***
Ah, kenapa lagi-lagi aku emosi untuk hal sepele. “Maafin ummi ya, Nak. Sungguh Ummi tidak mau marah-marah. Marah itu melelahkan. Ummi mohon Mamas jika mau sesuatu bilang baik-baik ya, tidak usah pakai tantrum. Itu bikin ummi gak mengerti maunya Mamas. Dan akhirnya
bisa bikin ummi ikutan marah juga” Ujarku ketika tersadar menatapnya lamat-lamat ke depan.
“Ummi sekarang sukanya marah-marah aja. Ummi udah marah sejuta kali. Mamas gak mau
sama Ummi lagi,” ujarnya sambil menangis.
“Maaf, Nak. Maafin ummi. Ummi akan berusaha untuk gak marah-marah lagi,” janjiku sambil memeluknya dengan hangat.
“Iya Ummi, mamas maafin,” jawab si Kecilku yang kini berusia 4 tahun. Dia yang memang tergolong lebih sulit kupahami daripada si sulungku.
Apakah masalah itu selesai? Oh, aku yakin tidak. Beberapa kali aku tetap lepas kontrol. Meledak! Padahal aku tahu itu keliru. Tapi tetap saja ketika emosi memuncak, ada perperangan batin dalam diri. Hati mengatakan itu salah tapi lama bawah sadar yang lebih mengontrol dan berujung aku juga ikut tantrum. Dan yang paling menyesakkan adalah ketika anak-anakku marah, aku seolah sedang bercermin. Melihat mereka seperti melihatku ketika dalam keadaan yang tak terkontrol itu.
Setelah ku telusuri aku sakit. Sakit jiwa. Jangan kalian pikir sakit jiwa itu hanya untuk orang gila ya, tentu tidak. Aku masih sangat waras. Hanya saja virus inner child negatif yang lama tertahan kini melepaskan ikatannya. Menggerogoti akal sehat ketika emosi sedang tak terkendali. Seperti rayap yang enggan pergi sebelum kayu menjadi lapuk. Tidak … tidak akan aku biarkan itu berlarut-larut.
Bukan tanpa sebab aku ingin sembuh. Aku sadar ini sangat tidak baik dalam proses pengasuhan kedua putra-putri kami. Bayangkan satu bentakan atau makian saja sudah mampu membunuh 1 milyar sel otak mereka yang sedang berkembang saat itu juga. Satu cubitan atau pukulan mampu membunuh lebih 10 milyar sel otak. Apalagi kalau aku sampai tantrum, harus berapa banyak aku menzalimi mereka. Tidak akan ku biarkan. Aku harus memutus rantai innerchild negatif ini. Cukup rasa sakit itu terjadi padaku saja.
Apa saja … Apa saja akan aku lakukan untuk berdamai dengan luka ini. Mulai dari melakukan tazkiyatun nafs (cara membersihkan jiwa, memperbaikinya dan menumbuhkannya agar menjadi semakin baik serta mengembangkan potensi baik jiwa manusia), ikut seminar-seminar parenting, self healing yang salah satunya dengan menulis, hingga melakukan healing dengan pakarnya (Insyaallah mulai Maret nanti).
Kunci utama untuk sembuh adalah support dari sang suami. Teringat di sebuah seminar parenting, saat momen aku bertanya tentang ini. Sang pemateri mengatakan, “Suami dan anak bukan bagian dari masa lalumu. Jangan biarkan mereka menjadi korban. Minta maaflah pada mereka”.
Saat itu suami yang ikut seminar juga maju ke depan dan aku diminta untuk meminta maaf langsung padanya. Malu pastinya, karena melakukan itu di depan orang banyak. Tapi aku juga lega, dari sana suamiku tahu apa yang aku rasakan dan aku alami. Hingga akhirnya beliaupun terus mengingatkan dan bisa mensupport aku.
Ketika kisah, harapan dan doa tertuang dalam sebuah rangkaian kata di cerita ini, aku ingin berbagi. Tak sekedar kujaring Angin. Aku tak akan melakukan perbuatan yang sia-sia. Akan kuwujudkan. Karena kusadar begitu banyak kesempatan yang bisa kita lakukan untuk jadi orang tua tebaik bagi anak-anak kita. Lakukan sekarang, jangan sampai kita menyesal nantinya. Dengan belajar dan berjuang bersama untuk memperbaiki semua kesalahan, semoga kelak kita berkumpul bersama kembali dalam surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan.
Medan, Sumatera Utara
Februari 2019