Saya sangat…sangat..sangat merasakan apa yang dikatakan pak nadiem ini sangatlah benar adanya di dunia nyata pendidikan yang ada di Indonesia ini. Sebagai seorang guru terutama guru honorer, kami kesulitan menciptakan suasana yang baru dalam proses belajar mengajar agar menarik minat belajar anak karena terikat dengan berbagai aturan. Belum lagi kegiatan administrasi yang harus dilengkapi, membuat kami kesulitan membagi waktu.
Ah, apalagi di saat masa-masa ujian tiba. Bukan hanya para murid yang stress, gurupun merasakan hal yang sama. Mendapatkan tekanan dari atasan agar murid “HARUS DAN WAJIB LULUS”, sedangkan hal tersebut hanya didapatkan dari hasil selembar kertas ujian. Jadi tidak heran ada murid yang sampai stress dan bunuh diri karena gagal atau guru atau kepala sekolah yang harus masuk bui karena membantu anak-anak didik mereka saat ujian berlangsung.
Entah mengapa saya merasa semua yang Pak Nadiem katakan itulah yang saya rasakan dulu sebagai guru dan kini sebagai orangtua yang anaknya sedang menempuh pendidikan di sekolah formal.
Yang paling saya rasakan saat ini adalah kurikulum yang mungkin menurut kacamata saya, Kurikulum 2013 dengan konsep tematiknya terlalu memberatkan dan membingungkan anak-anak. Terutama anak-anak yang masih berada di sekolah dasar. Buku dan pelajaran yang harus campur aduk. Itu sangat membingungkan mereka belajar apalagi saat ada ujian yang harus melompat sana sini menjawabnya. 1-5 pelajaran matematika, tiba-tiba nomor selanjutnya pelajaran bahasa, dan seterusnya. Bersyukur rasanya saat ini Auni bisa mengikutinya, lalu bagaimana dengan anak lainnya?
Belum lagi Kriteria Ketuntasan Minimal cukup tinggi. Untuk anak kelas 1 saja (di sekolah Auni) KKMnya berada di angka 80. Sejujurnya ini bukan hanya membuat stress anak-anak saja tapi juga guru dan orang tua. Apalagi jika anak tersebut belum lancar membaca, sudah bisa dipastikan dia akan tertinggal.
Sebenarnya tidak salah dengan angka itu asal angka yang ditulis di rapot bukan hanya nilai dari yang tertulis saja, tapi karakter dan kemampuan meraka lainnya yang juga diharapkan bisa diperhitungkan. Karena untuk menjadi SDM yang unggul bukan hanya butuh kepintaran saja tapi juga karakter yang baik dan keterampilan (skill) yang kuat. Apalah arti sebuah nilai, jika hal itu didapat dengan mencontek saat latihan dan curang ketika ujian.
Belum lagi soal persoalan siswa baru dengan sistem zonasi. Ah, rasanya memang lebih baik memilih sekolah swasta (yang berbasis agama atau alam) atau homeschooling saja. Namun, saya sangat prihatin jika memikirkan dengan saudara dari golongan menengah ke bawah yang hanya mampu menyekolahkan anaknya di sekolah negeri, namun tetap menginginkan sekolah yang berkualitas. Tahu sendiri kan? Sekolah negeri sampai sekarang kualitasnya masih tidak sama rata seperti halnya di Jepang.
Sebagai orangtua dan mantan guru, saya sangat berharap. Semoga pidato Pak Nadiem dengan tagarnya #merdekabelajar #gurupenggerak bisa terealisasikan melalui program-program pendidikan yang sangat ramah anak, bersahabat dengan guru, dan menenangkan para orang tua. Demi Sumber Daya Manusia yang unggul, sebagai kunci kesuksesan Indonesia maju. Karena sejujurnya kemerdekaan anak dalam belajar dan guru dalam mengajar (dengan catatan masih dalam koridornya) itu yang sangat diharapkan.